Minggu, 25 September 2011

Berita Saat Diskusi Ketenaga Kerjaan Kamis 22 Sep 2011


SUARA KARYA
Senin, 26 September 2011


ORGANISASI TENAGA KERJA
Pekerja Informal Belum Diakui 

Jumat, 23 September 2011
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah dan DPR diharapkan bisa menyejajarkan posisi tenaga kerja sektor informal dalam peraturan dan perundang-undangan.
Selama ini, kontribusi tenaga kerja sektor informal dalam perekonomian nasional lebih besar dibanding tenaga kerja formal. Namun, pemerintah dan DPR justru terkesan memandang sebelah mata peran dan sumbangsih tenaga kerja yang menjadi penyelamat ekonomi nasional, khususnya di saat krisis moneter 1998 lalu.
Demikian terungkap dalam diskusi sekaligus acara halalbihalal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia (Spindo) di Jakarta, kemarin. Tampil sebagai pembicara di antaranya Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Abdul Latif Algaff, Direktur LBH Jakarta Hermawanto, dan Ketua Umum Serikat Buruh Marhaen Mangatar Pasaribu.
Selain Ketua Umum Spindo H Maliki S beserta jajaran pengurus DPP dan DPD Spindo, turut hadir Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga. Selain kepengurusan di DPP, juga telah terbentuk delapan DPD Spindo, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan.
Pada kesempatan ini, Ketua FSP BUMN Abdul Latief Algaf mengingatkan lima hal yang mesti dilakukan Spindo untuk memperkuat kedudukan pekerja sektor informal sebagai alat pembangunan dan modal bangsa. Pertama, Spindo harus melakukan identifikasi para pekerja sektor informal dan potensi yang ada. Selain itu juga untuk mengetahui kedudukan pekerja informal dalam sistem peraturan dan perundang-undangan nasional. Kedua, melakukan pemberdayaan dengan turut serta mendidik dan melatih para anggota, khususnya di lembaga pelatihan yang sudah didirikan pemerintah.
Selanjutnya ketiga, Spindo juga harus menjadi fasilitator untuk akses bantuan pendanaan agar pekerja informal bisa terus bekerja, berusaha, dan bahkan berkembang. Apalagi, saat ini banyak fasilitas kredit yang belum dimanfaatkan secara optimal, seperti kredit usaha rakyat (KUR) atau dana dari program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) BUMN.
Sedangkan keempat, Spindo harus terus meningkatkan mental dan semangat kewirausahaan bagi pekerja informal untuk terus meningkatkan kualitas. Dan kelima, melakukan partisipasi sosial dengan meningkatkan status pekerja informal yang sekarang baru ada dalam tataran peraturan menteri untuk minimal menjadi di tingkat peraturan pemerintah (PP).
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Hermawanto mengakui selama ini para pekerja sektor informal belum masuk dalam struktur undang-undang. Kedudukannya baru masih sebatas peraturan/keputusan menteri.
"Untuk meningkatkan status dan perhatian dari pemerintah, diperlukan perjuangan. Minimal membuat pekerja informal masuk pada suatu produk undang-undang. Tapi, jika memang sulit melalui DPR, bisa dilakukan lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya untuk mengkaji ulang atau bahkan membatalkan produk perundang-undangan yang dirasakan merugikan para pekerja di sektor informal," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Serikat Buruh Marhaen Mangatar Pasaribu mengatakan, Spindo perlu melakukan konsolidasi ke eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan status pekerja sektor informal dalam peraturan dan perundang-undangan. Ini harus dilakukan karena peran dan sumbangsih pekerja informal yang besar dalam perekonomian sepertinya dianggap remeh.
BNSP

Di lain pihak, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) bertekad menjadi jembatan keterkaitan dunia pendidikan dan dunia kerja (link and match) lewat penetapan standar kompetensi profesi. Karena, disadari bahwa penerapan program link and match hingga kini belum berjalan optimal.
"Upaya yang dirintis BNSP sejak 2004 ini memang tak mudah karena sudah menjadi sifat bagi dunia kerja yang bergerak cepat, sementara dunia pendidikan bersifat gradual, saling kejar-mengejar," kata Kepala BNSP Adjat Daradjat pada acara sosialisasi BNSP Competency Award 2011.
Kendati demikian, BNSP telah menyusun standar kompetensi yang disepakati dunia usaha bagi sekitar 200 jenis profesi, sementara jumlah profesi mencapai angka puluhan ribu jenis. "Kita akan terus kejar ketertinggalan ini. Target lima tahun ked epan, jumlahnya bisa ditingkatkan hingga mencapai 500 jenis profesi," ucapnya.
Adjat menambahkan, selama kurun waktu 2005-2011, baru 1 persen atau sekitar 1,2 juta tenaga kerja Indonesia yang mendapat sertifikasi profesi. (Tri Wahyuni)




Serikat Pekerja Marhaen Tolak Duit Buruh Dikutak-kutik BPJS Baru
Jum'at, 23 September 2011 , 00:02:00 WIB
Laporan: Feril Nawali

http://www.rakyatmerdekaonline.com/images/berita/normal/55990_12590223092011_ade.jpg
ILUSTRASI
  
RMOL. Sekalipun memberi dukungan penuh terhadap pelaksanaan dan implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui pembentukkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang, Serikat Pekerja Marhaen Indonesia mengingatkan agar dana para buruh yang sudah tersimpan dan dikembangkan dalam sistem jaminan sosial tenaga kerja tidak dikutak-kutik.

"Dalam pembahasan RUU BPJS, sikap kami  mendukung dibentuknya BPJS yang mengurusi masalah masyarakat tidak mampu. Tapi duit buruh dan pekerja yang sudah ada jangan sampai dikutak-kutik,’’ kata Ketua Umum Serikat Pekerja Marhaen Indonesia, Mangatar Pasaribu dalam diskusi dan halal bihalal Serikat Pekerja Informal Indonesia (SPIN) di Jakarta, Kamis (22/9).

Menurut dia, pelaksanaan jaminan sosial mesti didukung seluruh komponen masyarakat. Namun, BPJS yang berjalan puluhan tahun dan memberikan manfaat serta perlindungan terhadap pekerja, tidak usah dipertentangkan. "Biarkan dibentuk saja BPJS baru, dan BPJS yang sudah berjalan terus diperbaiki sistemnya memberikan manfaat sebesar-besarnya buat pekerja," imbuhnya.

Seperti diketahui pembahasan RUU BPJS yang dilakukan Panitia Khusus DPR akan memasuki masa sidang pada akhir Oktober 2011. Sejumlah isu krusial yang masih menjadi pro kontra terkait upaya menggabungkan 4 BPJS yang sudah ada, yaitu PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri dan PT Askes. Jika keempat BPJS itu digabungkan setidaknya BPJS yang baru akan mengumpulkan dana berkisar  Rp 192 triliun dimana lebih dari Rp 100 triliun merupakan  milik para pekerja dalam bentuk Jaminan Hari Tua (JHT) maupun  dana pengembangannya.

Penolakan  tidak menggunakan dana para pekerja sebelumnya  disuarakan  Serikat Pekerja Nasional (SPN), dimana Ketua Umum SPN Bambang Wirayoso mengancam organisasinya akan  menarik dana-dana milik pekerja jika terjadi penggabungan empat BPJS yang berarti penggunaan dana milik pekerja untuk pembentukkan BPJS baru. "Kita tidak menolak RUU BPJS. Silahkan saja dibentuk BPJS baru mengurusi jaminan sosial seluruh masyarakat. Tapi, soal jaminan sosial para pekerja biarkan saja dilaksanakan BPJS yang melindungi jaminan sosial pekerja lewat Jamsostek," terangnya.

Dilain pihak, Ketua Umum Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia (SPIN) H Maliki berharap pembahasan RUU BPJS tidak berlarut-larut dengan mempertentangkan isu penggabungan 4 BPJS yang sudah berjalan baik sehingga tidak membuang waktu terlalu lama.

"Para pekerja sektor informal yang jumlahnya lebih  70 juta warga masyarakat telah lama menantikan perlindungan sosial. Bagi kami, tidak masalah  pekerja sektor formal  yang berkerja di pabrik-pabrik diwadahi oleh BPJS yang sudah ada," terangnya.
 

"Karena yang terutama bukan merumuskan kalimat-kalimat indah,  tapi bagaimana  mewujudkan perlindungan sosial  sesegera mungkin sehinga perundangan itu bisa aplikatif dan realistis dijalankan sampai ke pekerja informal," tandasnya.

Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Hermawanto  mengakui selama ini para pekerja sektor informal belum masuk dalam struktur Undang-undang. Kedudukannya, baru masih mencapai status keputusan menteri, sehingga kedudukan mereka berada dalam posisi yang sulit. Dia juga menerangkan para pekerja
 outsourching, bisa digolongkan sebagai para pekerja informal.[dem]



SPIN Desak Negara Menanggung Premi Perlindungan Sosial
Sabtu, 30 Juli 2011 , 17:43:00 WIB
Laporan: Feril Nawali

http://www.rakyatmerdekaonline.com/images/berita/normal/803279_05464930072011_demo_bpjs.jpg
ILUSTRASI/IST
  
RMOL. Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia (SPIN) mendesak pemerintah dan DPR-RI membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baru yang khusus menangani masyarakat kurang mampu. Selain itu, mereka mendesak negara  membayar premi atau iuran sebagai kewajiban untuk perlindungan sosial.

"Negara tidak boleh lepas tanggung jawab karena amanat konstitusi memberikan jaminan sosial kepada segenap warga negara. Kita tidak mau soal perlindungan sosial digeser masuk  kepentingan pasar  bisnis," kata Ketua DPP SPIN, H Maliki dalam diskusi “Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja Sektor Ekonomi Informal Melalui Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja” di Jakarta, Sabtu, (30/7).

Maliki menambahkan, jaminan sosial merupakan hak dasar setiap warga negara yang diatur dan dijamin negara, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 UU 6/1974. Tapi faktanya, terang dia, kelompok pekerja informal yang jumlahnya lebih dari 76 juta warganegara  masih termarjinalkan dan belum beroleh perlindungan sosial sebagaimana dinikmati pekerja formal lewat Jamsostek dan PNS/TNI/Polri melalui  Taspen dan Asabri.

Karena itu, lanjut Maliki, DPP SPIN mendukung pemerintah dan DPR untuk membentuk BPJS baru yang khusus menangani masyarakat tidak mampu, sehingga memberi jaminan sosial terhadap pekerja sektor informal.
 

"Tapi sikap kita menolak merger atau penggabungan empat BUMN asuransi sosial, karena berpotensi menyerahkan sistem jaminan sosial  pada pasar yang hanya mengaburkan tanggungjawab negara menanggung rakyat tidak mampu yang sebagian besar berkecimpung di sektor informal," ujarnya menjelaskan.

Untuk itu, Maliki berharap pemerintah dan DPR tidak hanya berkutat pada pro-kontra transformasi empat BUMN, melainkan fokus membentuk BPJS masyarakat tidak mampu termasuk memberikan perlindungan sosial bagi para pekerja sektor informal.
 

"Para pekerja formal itu jumlahnya sekitar 30 juta, tapi kami warganegara yang bekerja di sektor informal yang jumlahnya 70 juta juga perlu dipikirkan. Jangan persoalannya ditarik pro kontra transformasi empat BUMN (Jamsostek, Taspen, Asabri, Askes), tapi fokus mengurus kami yang belum terlindungi sehingga nantinya  tidak membenturkan sesama warganegara,’’ imbuhnya.
 

Dalam kesempatan itu, praktisi hukum yang juga Ketua Advokasi Pekerja Sektor Informal SPIN Effendi Siahaan mengakui, selama ini sektor informal selalu dipuja-puji sebagai sektor yang tahan banting ketika menghadapi krisis moneter tahun 1998.
 

"Ketika banyak pelaku ekonomi lain terhantam krisis, sektor informal yang jadi gantungan masyarakat banyak jadi penyangga perekonomian nasional,’’ jelasnya.

Sayangnya, lanjut Effendi, pemerintah belum memberikan perhatian dengan membuat berbagai perangkat perundangan ataupun perlindungan sosial agar sektor informal bisa berkembang. Pihaknya berharap dalam pembahasan RUU BPJS yang jadi turunan dari UU Nomor 20/2004 tentang SJSN, para pekerja sektor informal bisa dimasukkan dalam BPJS sendiri.
 

"Biarkan saja BPJS yang sudah ada berjalan seperti yang sudah ada. Konsern kita, bagaimana sektor informal mulai terpikirkan,"  imbuh Effendi.
 [wid]

Jamsostek Perhatikan Pekerja Informal
Jakarta | Sabtu, 24 Sep 2011
Wahyu Utomo
PT Jamsostek menyatakan menyambut baik kehadiran Serikat Pekerja Sektor Informal (SPINDO ) karena struktur ketenagakerjaan di Indonesia lebih banyak sektor informal ketimbang sektor formalnya. "Kami sebagai operator pemerintah di bidang perlindungan sosial tenaga kerja, juga sudah memiliki program perlindungan tenaga kerja sektor informal di bidang Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TKLHK) dan tenaga kerja mandiri (self employment),'' kata Direktur Utama (Dirut) Jamsostek (Persero)Hotbonar Sinaga saat menghadiri diskusi dan halalbihalal DPP Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia (SPIN) di Jakarta, kemarin.
Menurut Hotbonar selama ini untuk para pekerja sektor formal sudah memperoleh perhatian yang cukup memadai. "Tetapi, kalau para pekerja sektor informal memang dalam struktur perundangan belum kuat dan memang belum ada yang mengurus," katanya menerangkan.
Karena itu, lanjutnya, dalam mengimplementasikan apa yang sudah diamanatkan UUD 1945, dia berharap pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditujukan bagi seluruh penduduk termasuk juga pekerja sektor informal bisa terlaksana dengan baik dan diimplementasikan secara benar. "Komitmen dan kesepakatan yang sudah berjalan baik dilakukan BPJS yang sudah ada akan semakin optimal melindungi seluruh warganegara," kata bekas anggota Dewan SJSN tersebut.
Ketua FSP BUMN Abdul Latief Algaf mengingatkan lima hal yang mesti dilakukan SPIN untuk memperkuat kedudukan pekerja sebagai alat pembangunan dan modal bangsa. Pertama, SPIN melakukan indentifikasi para pekerja sektor informal untuk mengetahui kedudukannya dalam UU nasional. Kedua, melakukan pemberdayaan sektor informal dengan turut serta mendidik para anggotanya dalam Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah didirikan pemerintah.
Ketiga, Serikat Pekerja Informal melakukan fasilitator dana pekerja mandiri dari Jamsostek atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) dariPNPM dan Menkop dan PPK. "Jadi mereka yang bekerja di sektor informal terjamin untuk kelangsungan pekerjaannya,'' katanya.
Keempat, melakukan peningkatan kewirausahaan sehingga makin meningkatkan kualitas tenaga kerja di sektor informal. Dan kelima, melakukan partisipasi sosial dengan meningkatkan status pekerja informal yang sekarang baru ada dalam tataran Kepmenakertrans menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Ketua Umum Kesatuan Buruh Marhaen, Manganar Pasaribu, mengemukakan para pekerja sektor informal mesti segera melakukan konsolidasi organisasi di wilayah legislatif.
"Jadi selain advokasi di jalanan, mesti berusaha terlibat dalam penyusunan Perda di wilayah, karena satuan kerjanya berada di sana,'' katanya. Saat ini DPP Serikat Pekerja Informal Indonesia (SPIN) dipimpin Ketua Umum H Maliki itu telah memiliki delapan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di antaranya, SPIN DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan. Wahyu Utomo


Hotbonar Sambut Baik Lahirnya SPINDO
Memperkuat Kedudukan Pekerja
JAKARTA- Dirut PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga menyambut baik kehadiran Serikat Pekerja Sektor Informal (SPIN). Karena awalnya, banyak  para pekerja sektor formal kemudian menjadi tenaga kerja sektor informal dengan berbagai macam alasan. Begitu juga struktur ketenagakerjaan di Indonesia yang lebih banyak sektor informal ketimbang sektor formalnya.
“Kami sebagai operator pemerintah di bidang perlindungan sosial tenaga kerja, juga sudah memiliki program perlindungan tenaga kerja sektor informal di bidang Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TKLHK) dan tenaga kerja mandiri (self employment),’’ kata Hotbonar ketika menghadiri diskusi dan Halal Bihalal DPP SPINDO di Jakarta, Kamis (22/9).
Menurut Hotbonar, selama ini untuk para pekerja sektor formal sudah memperoleh perhatian yang cukup memadai. Untuk para pekerja sektor informal, dalam struktur perundangan belum kuat dan memang belum ada yang mengurus,’’ katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, dalam mengimplementasikan apa yang sudah diamanatkan UUD 1945, dia berharap pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditujukan bagi seluruh masyarakat, termasuk juga pekerja sektor informal, bisa terlaksana dengan baik dan diimplementasikan secara benar.
“Komitmen dan kesepakatan yang sudah dilakukan BPJS dan berjalan dengan baik, akan semakin optimal melindungi seluruh warganegara,’’ ujar mantan anggota Dewan SJSN tersebut.
Sebelumnya, Ketua FSP BUMN Abdul Latief Algaf mengingatkan, lima hal yang mesti dilakukan SPIN untuk memperkuat kedudukan pekerja sebagai alat pembangunan dan modal bangsa. Pertama, SPIN harus melakukan indentifikasi para pekerja sektor informal untuk mengetahui kedudukannya dalam UU nasional.
Kedua, melakukan pemberdayaan sektor informal dengan turut serta mendidik para anggotanya dalam Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah didirikan pemerintah.
Ketiga, Serikat Pekerja Informal melakukan fasilitator dana pekerja mandiri dari Jamsostek atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari PNPM dan  Menkop dan PPK.
“Jadi, mereka yang bekerja di sektor informal, terjamin untuk kelangsungan pekerjaannya,” terang Latif. Keempat, melakukan peningkatan kewirausahaan, sehingga makin meningkatkan kualitas tenaga kerja di sektor informal.
Dan kelima, melakukan partisipasi sosial dengan meningkatkan status pekerja informal yang sekarang baru ada dalam tataran Kepmenakertrans menjadi Peraturan Pemerintah (PP). (bis/zal)\

  

Jamsostek Beri Perhatian Lebih Besar Sektor Informal
Minggu, 25 September 2011 - 12:02 WIB
JAKARTA (Pos Kota) – Karena jumlah peserta sektor informal masih sedikit, dan perangkat hukum pendukungnya juga masih minim, PT Jamsostek beri perhatian lebih besar pada sektor tersebut.
Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga di Jakarta, Jumat, mengatakan saat ini terdapat sekitar 600.000 pekerja informal yang menjadi peserta Jamsostek. Mereka dikategorikan sebagai tenaga kerja luar hubungan kerja (TK-LHK). Mereka menjadi peserta Jamsostek secara sukarela, dengan batas usia maksimal 55 tahun.
PT Jamsostek memberi kemudahan dengan mengikuti program secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Cara mendaftarnya juga dipermudah, yakni bisa mendaftar sendiri langsung ke kantor cabang BUMN itu di seluruh Indonesia atau melalui kelompok yang sudah memiliki Ikatan Kerjasama dengan PT Jamsostek.
Tidak hanya itu, PT Jamsostek juga memberi subsidi iuran kepada 11.050 pekerja informal senilai Rp3,7 miliar. Saat ini jumlah pekerja informal sekitar 73,20 juta orang (65,77 persen) dari angkatan kerja. Namun, jika dibandingkan dengan kepesertaannya yang hanya sekitar 600 ribu, kata Hotbonar Sinaga, masih relatif sangat kecil. Dasar hukum program TK-LHK saat ini Peraturan Menteri No.24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Di luar Hubungan Kerja.
Karena itu dia menyambut baik keberadaan Serikat Pekerja Sektor Informal (SPINDO). Dia berharap organisasi ini bisa menggalang dan mengajak pekerja informal untuk peduli pada perlindungan dan risiko kerja yang bisa datang kapan saja di waktu-waktu yang tak terduga.
Acuan iuran TK-LHK sekurang-kurangnya setara upah minimum provinsi/Kabupaten/Kota. Untuk Jaminan Kecelakaan Kerja nilai iuran 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, Jaminan Kematian 0.3 persen, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 6 persen untuk yang berkeluarga dan 3 persen untuk lajang.
Semaraknya pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kata Hotbonar, diharapkan memberi kesadaran kepada pekerja informal untuk lebih perhatian pada risiko kerja.

(tri/sir

  

Jamsostek Beri Kemudahan bagi Pekerja Informal

Jakarta, (PRLM).- PT Jamsostek (Persero) memberi perhatian lebih besar pada kepesertaan pekerja di sektor informal. Pasalnya, jumlah anggotanya masih kecil dan perangkat hukum pendukung juga masih minim.
Saat ini terdapat sekitar 600.000 pekerja informal yang menjadi peserta Jamsostek. "Mereka dikategorikan sebagai tenaga kerja luar hubungan kerja (TK-LHK). Mereka menjadi peserta Jamsostek secara sukarela, dengan batas usia maksimal 55 tahun," kata Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga di Jakarta, Sabtu (24/9).
Hingga Agustus 2011, jumlah pekerja peserta Jamsostek mencapai 33,69 juta orang, namun yang aktif menjadi peserta hanya 9,97 juta pekerja. Jadi, 23,72 juta orang pekerja (70,4 persen) merupakan peserta pasif atau tidak lagi membayar iuran.
Dikatakan, PT Jamsostek memberi kemudahan dengan mengikuti program secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. "Cara mendaftarnya juga dipermudah, yakni bisa mendaftar sendiri langsung ke kantor cabang BUMN itu di seluruh Indonesia atau melalui kelompok yang sudah memiliki Ikatan Kerjasama dengan PT Jamsostek," katanya.
Tidak hanya itu, PT Jamsostek juga memberi subsidi iuran kepada 11.050 pekerja informal senilai Rp 3,7 miliar. Saat ini jumlah pekerja informal sekitar 73,20 juta orang (65,77 persen) dari angkatan kerja. Namun, jika dibandingkan dengan kepesertaannya yang hanya sekitar 600 ribu masih relatif sangat kecil.
Dasar hukum program TK-LHK saat ini Peraturan Menteri No.24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Di luar Hubungan Kerja.
Karena itu, dia menyambut baik keberadaan Serikat Pekerja Sektor Informal (SPIN). Diaharapkan organisasi ini bisa menggalang dan mengajak pekerja informal untuk peduli pada perlindungan dan risiko kerja yang bisa datang kapan saja di waktu-waktu yang tak terduga.
Acuan iuran TK-LHK sekurang-kurangnya setara upah minimum provinsi/Kabupaten/Kota. Untuk Jaminan Kecelakaan Kerja nilai iuran 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, Jaminan Kematian 0.3 persen, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 6 persen untuk yang berkeluarga dan 3 persen untuk lajang.
Hotbonar juga berharap, semaraknya pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diharapkan memberi kesadaran kepada pekerja informal untuk lebih perhatian pada risiko kerja. (A-78/kur)***


 Bos Jamsostek Cermati Kinerja Sektor Informal
23 Sep 2011
DIRUT PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga menyambut baik kehadiran Serikat Pekerja Sektor Informal (SPINDO). Karena awalnya, banyak para pekerja sektor formal kemudian menjadi tenaga kerja sektor informal, karena berbagai macam alasan. Begitu juga struktur ketenagakerjaan di Indonesia lebih banyak sektor informal ketimbang sektor formalnya.

"Kita sebagai operator pemerintah di bidang perlindungan sosial tenaga kerja, juga sudah memiliki program perlindungan tenaga kerja sektor informal di bidang Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TKLHK) dah tenaga kerja mandiri (self employ-mem)" kata Hotbonar Sinaga ketika menghadiri diskusi dan halal bihalal DPP Serikat Pekerja Sektor Informal (SPIN) di Jakarta, kemarin.

Menurut Hotbonar, selama ini untuk para pekerja sektor formal sudah memperoleh perhatian yang cukup memadai. "Tapi, kalau para pekerja sektor informal memang dalam struktur perundangan belum kuat dan memang belum ada yang mengurus," terangnya.

Karena itu, lanjutnya, dalam mengimplementasikan apa yang sudah diamanatkan UUD I94S, dia berharap pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditujukan bagi seluruh penduduk termasuk juga pekerja sektor informal bisa terlaksana dengan baik dan diimplementasikan secara benar.

"Komitmen dan kesepakatan yang sudah berjalan baik dilakukan BPJS yang sudah ada akan semakin optimal melindungi seluruh warganegara," kata bekas anggota Dewan SJSN tersebut. Sebelumnya, Ketua FSP BUMN Abdul Latief Algaf mengingatkan lima hal yang mesti dilakukan SPIN untuk memperkuat kedudukan pekerja sebagai alat pembangunan dan modal bangsa.( fn )




PdAnthony 11:26 PM pada 24 September 2011 Permalink | Balas  

PT Jamsostek (Persero) memberi perhatian lebih besar pada kepesertaan pekerja di sektor informal. Pasalnya, jumlah anggotanya masih kecil dan perangkat hukum pendukung juga masih minim.
Saat ini terdapat sekitar 600.000 pekerja informal yang menjadi peserta Jamsostek. “Mereka dikategorikan sebagai tenaga kerja luar hubungan kerja (TK-LHK). Mereka menjadi peserta Jamsostek secara sukarela, dengan batas usia maksimal 55 tahun,” kata Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga di Jakarta, Sabtu (24/9).
Hingga Agustus 2011, jumlah pekerja peserta Jamsostek mencapai 33,69 juta orang, namun yang aktif menjadi peserta hanya 9,97 juta pekerja. Jadi, 23,72 juta orang pekerja (70,4 persen) merupakan peserta pasif atau tidak lagi membayar iuran.
Dikatakan, PT Jamsostek memberi kemudahan dengan mengikuti program secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. “Cara mendaftarnya juga dipermudah, yakni bisa mendaftar sendiri langsung ke kantor cabang BUMN itu di seluruh Indonesia atau melalui kelompok yang sudah memiliki Ikatan Kerjasama dengan PT Jamsostek,” katanya.
Tidak hanya itu, PT Jamsostek juga memberi subsidi iuran kepada 11.050 pekerja informal senilai Rp 3,7 miliar. Saat ini jumlah pekerja informal sekitar 73,20 juta orang (65,77 persen) dari angkatan kerja. Namun, jika dibandingkan dengan kepesertaannya yang hanya sekitar 600 ribu masih relatif sangat kecil.
Dasar hukum program TK-LHK saat ini Peraturan Menteri No.24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Di luar Hubungan Kerja.
Karena itu, dia menyambut baik keberadaan Serikat Pekerja Sektor Informal (SPIN). Diaharapkan organisasi ini bisa menggalang dan mengajak pekerja informal untuk peduli pada perlindungan dan risiko kerja yang bisa datang kapan saja di waktu-waktu yang tak terduga.
Acuan iuran TK-LHK sekurang-kurangnya setara upah minimum provinsi/Kabupaten/Kota. Untuk Jaminan Kecelakaan Kerja nilai iuran 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, Jaminan Kematian 0.3 persen, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 6 persen untuk yang berkeluarga dan 3 persen untuk lajang.
Hotbonar juga berharap, semaraknya pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diharapkan memberi kesadaran kepada pekerja informal untuk lebih perhatian pada risiko kerja.



Catatan : Naskah berita didokumentasi DPP SPINDO Tanggal 26 September 2011 
               Leo TD Sarumpaet, SH



Kamis, 18 Agustus 2011

Pekerja Informal Butuh Jaminan Sosial Tenaga Kerja


JAKARTA - Direktur Operasi dan Pelayanan PT Jamsostek (Persero) Ahmad Ansyori mengatakan, pekerja informal sangat membutuhkan program Jamsostek. Pekerja sektor ekonomi informal  lebih rentan dari pekerja formal. Peningkatan kepesertaan Jamsostek dari pekerja informal membutuhkan intervensi kebijakan pemerintah, kata Ansyori.
Ia menjelaskan, berdasarkan pengalaman beberapa penyelenggara jaminan sosial di luar negeri, mereka membentuk organisasi besar sebagai wadah penjamin peserta Jamsostek dari sektor informal. Artinya, pekerja informal bisa menjadi koperasi untuk kemudian menjadi peserta Jamsostek..
Strategi lain adalah melibatkan pemerintah daerah (pemda). Cara ini sudah berjalan di Kabupaten Purwakarta yang mendaftarkan sedikitnya 22.000 pekerja informal pemda, seperti penyapu jalan menjadi peserta Jamsostek dengan iuran dari APBD.
Kami sedang merintis kerja sama dengan koperasi Swamitra binaan Bukopin di seluruh Indonesia. Nanti koperasi akan meminta calon penerima pinjaman menjadi peserta Jamsostek. Sehingga akan lebih banyak pekerja informal yang menikmati manfaatnya, tutur Ansyori. 
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar ketika berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini, mengatakan, kesadaran pekerja sektor informal mengikuti program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) terus meningkat.
Karenanya, pemerintah perlu merespons hal ini dengan lebih mempermudah prosedur pendaftaran peserta program Jamsostek untuk pekerja informal. Pihaknya terus mendorong kepesertaan pekerja informal dalam program Jamsostek dengan menyediakan bantuan subsidi iuran program Jamsostek Tahun 2011 sebesar Rp3,7 miliar di 11 provinsi. Muhaimin mengungkapkan, pekerja informal masih minim perlindungan sehingga membutuhkan program Jamsostek. PT Jamsostek (Persero) harus terus menyosialisasikan manfaat program mereka untuk meningkatkan kepesertaan pekerja informal.
Subsidi iuran program Jamsostek bagi pekerja informal diberikan berdasarkan Peraturan Menteri No 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja , pekerja informal yang mendapatkan subsidi iuran tahun ini tersebar di Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Riau, Lampung, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Subsidi tersebut meningkat hampir 3 kali lipat dari tahun 2010 yang mencapai Rp1,3 miliar. Ada 4.166 pekerja informal di tujuh provinsi yang menerimanya tahun lalu.
Pekerja informal kerap terkendala menjadi peserta program Jamsostek karena tidak memiliki perusahaan sebagai penjamin iuran dan berpendapatan tidak tetap.
Padahal, pekerja informal juga membutuhkan jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian juga seperti halnya pekerja formal, kata Menakertrans.
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia Leo TD Sarumpaet,SH , dalam seminar diskusi ' Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja Sektor Ekonomi Informal Untuk Mendapatkan Jaminan Sosial " belum lama ini di Jakarta ,mengatakan , bahwa sesungguhnya pemerintah harus lebih serius membuat  regulasi yang mendukung pekerja informal , termasuk akses modal ,sehingga dengan demikian akan meningkatkan perekonomian pekerja informal , yang natinya dapat memperluas kepesertaan jamsostek kepada sektor ini.
 [bmb]

PERLU UNTUK KITA KETAHUI



Terbentuknya Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia ( SPINDO ) membawa angin segar bagi pekerja sektor ekonomi informal , yang jumlahnya kini mencapai 73,20 juta jiwa , atau 65 ,77 % dari angkatan kerja nasional.
Kehadiran SPINDO ditengah ketidakpastian peningkatan taraf hidup rakyat akan memberikan harapan baru bagi jaminan keberadaan pekerja sektor informal sebagai bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat./
Keberadaan SPINDO menjadi benteng pertahanan bagi pekerja sektor ekonomi informal dalam melakukan kegiatan hak yang sama dalam perekonomian.
Sebagai organisasi yang menaungi jutaan anggota ,SPINDO tidak lagi dipandang sebagai organisasi kecil. Namun besar karena eksistensi dan komitmennya dalam membela hak pekerja sektor ekonomi informal. Pembuktian ini harus  dilakukan berkelanjutan dan terarah, sehingga program SPINDO tetap terkomparatif dengan baik diterima oleh berbagai pihak.
SPINDO memerlukan upaya terus menerus dalam memediasi , menyuarakan, mengapresiasikan, mengakomodir, dan menjembatani kepentingan anggota dengan eksekutif, legislatif,  yudikatif, masyarakat  sehingga visi dan misi dapat tercapai.

Bravo SPINDO......Satu Komando ...untuk kesejahteraan

Leo.TD Sarumpaet ,SH
Sekjen



Minggu, 14 Agustus 2011

SUSUNAN PENGURUS DEWAN PIMPINAN DAERAH


SUSUNAN PENGURUS
DEWAN PIMPINAN DAERAH ……………………….
SERIKAT PEKERJA SEKTOR INFORMAL INDONESIA
( DPD SPINDO -………………………………)

Ketua                                                               :
Sekretaris                                                        :
Wakil Sekretaris                                              :
Bendahara                                                      :
Wakil Bendahara                                            :

Dewan Penasehat
Ketua /Anggota                                               :
Anggota                                                           :                                                                        
Anggota                                                           :                                                                        
Anggota                                                           :                                                                        
Anggota                                                           :                                                            

Ketua  I   (Organisasi dan Keanggotaan)                    :
Ketua II   (Kesejahteraan dan Sosial)                          :
Ketua III  (SDM dan Diklat)                                         :
Ketua IV  (Hukum dan Advokasi)                                :
Ketua V   (Hubungan Kelembagaan)                          :
Ketua VI  (Litbang dan Perkoperasian)                       :

Ketua Sektor Pertanian , Perikanan dan Kelautan     :
Ketua Sektor Makanan dan Minuman                        :
Ketua Sektor Pariwisata dan Hiburan                         :
Ketua Sektor Transportasi dan Angkutan                   :
Ketua Sektor Konstruksi dan Bangunan                      :
Ketua Sektor Perdagangan dan Pasar                                    :
Ketua Sektor Seni dan Budaya                                    :
Ketua Sektor Informasi dan Media                             :
Ketua Sektor Jasa dan Pelayanan                               :


PEMEGANG SURAT MANDAT
PEMBENTUKAN KEPENGURUSAN D P D PROVINSI …………………………………………

Mandataris,


Kordinator



Anggota                                                                                                                                  Anggota


Anggota                                                                                                                                    Anggota